Kamis, 03 November 2016

Tafsir Tahlili QS. AN-NISA’ ;34-35

Tafsir Tahlili


QS. AN-NISA’ ;34-35

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34) وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ  
Artinya : 34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. 35. dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

1.      Pembahasan Aspek Kebahasan
a.       Kata   
Nusyuznya
 نُشُوزَهُنّ  
laki-laki/ suami
الرِّجَالُ
Maka nasehatilah
  فَعِظُوهُنَّ
Pemimpin
قَوَّامُونَ
dan pisahkanlah
وَاهْجُرُوهُنَّ
wanita / istri
النِّسَاءِ
di tempat tidur
فِي الْمَضَاجِعِ
Melebihkan
Ÿ فَضَّلَ
dan pukullah mereka
وَاضْرِبُوهُنَّ
Menafkahkan
( أَنْفَقُوا

b.      I'rab
kata al-rijal adalah bentuk jamak dari kata rojul yang biasa diterjemahkan lelaki, walaupun al-Quran tidak selalu menggunakannya dalam arti tersebut. Banyak ulama yang memahami kata al-rijal dalam ayat ini dalam arti para suami. Tetapi menurut Muhammad Thahir bin Asyur kata al- Rijal  tidak digunakan oleh bahasa arab, bahkan bahasa al-Quran, dalam arti suami. Berbeda dengan kata al-nisa atau imra’ah yang digunakan untuk makna istri.[1]
Kata Qawamun adalah bentuk jamak dari kata Qawam yang terambil dari kata Qama. Seorang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya dinamai Qaim. ayat diatas menggunakan bentuk jamak yakni Qawamun sejalan dengan kata al-Rijal­ yang berarti banyak lelaki. Seringkali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya.[2]
c.       Balaghah
kiasan meninggalkan jima'    وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ



2.      Pendekatan Kaidah Tafsir

3.      Munasabah Ayat
Munasabah ayat:
Pada ayat sebelumnya, Allah melarang berangan-angan serta iri hati menyangkut keistimewaan masing-masing manusia, baik pribadi maupun kelompok atau jenis kelamin. Keistimewaan yang dianugerhkan Allah itu antara lain karena masing-masing mempunyai fungsi yang harus diembannya dalam masyarakat sesuai dengan potensi dan kecenderungan jenisnya, karena itu pula ayat 32 mengingatkan bahwa allah telah menetapkan bagian masing-masing menyangkut harta warisan, dimana terlihat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. kini, fungsi dan kewajian masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu, disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa para lelaki atau suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain karena mereka secara umum telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya..


4.      Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul ayat:[3]
Menurut Muqatil ayat ini turun lantaran kasus Sa’ad ibn rabi’ dan istrinya yang bernama Habibah binti Zaid ibn Abi Zuhair, keduanya termasuk golongan Anshar. Sa’ad ibn Rabi’ merupakan salah seorang pemimpin yang di di perlakukan Nusyuz oleh istrinya sehingga ia menamparnya. Maka berangkatlah Habibah beserta ayahnya kehadapan nabi. Dia berkata “aku telah menidurkan (menikahkan) putriku dengannya kemudian ia menamparnya. Maka nabi saw menjawab “biarlah ia menqishas (membalas) menampar suaminya, maka pergilah habibah beserta ayahnya untuk mebalasnya. Kemudian nabi saw bresabda, “kembalilah, ini jibril datang kepadaku” Allah menurunkan ayat ini, lalu nabi saw. Membacanya. Nabi saw. Bersabda “aku menghendaki suatu perkara dan allah menghendaki suatu perkara, sedangkan apa yang dikehendaki allah itu lebih baik”, maka ia tidak jadi membalas menampar suaminya.


5.      Kandungan Ayat : Umum/Khusus
Ayat dalam surat tersebut sekilas dapat memberikan pemahaman perihal kepemimpinan laki-laki dalam ranah rumah tangga, bila melihat kaitan pembahasan dengan ayat sebelumnya yakni ayat 32 yang melarang berangan-angan atau iri terhadap apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepada tiap-tiap jenis (laki-laki atau perempuan) berdasarkan takaran atau spesifikasi karunia yang berbeda maka dalam hal ini laki-laki diperintahkan untuk mengoptimalkan potensi atas karunia tersebut dan perempuan pun demikian dengan tetap memperhatikan batas hak dan kewajiban. Laki-laki diberi anugrah oleh Tuhan berupa tubuh atau fisik yang kuat yang berbeda dengan perempuan, meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa apabila perempuan sejak kecil bertindak atau melakukan pekerjaan layaknya laki-laki maka ia juga akan memiliki kekuatan yang sama kadarnya dengan laki-laki baik dalam hal bentuk otot dan kekuatannya. Kiranya pendapat tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan mengingat bahwa kadar hormon maupun komponen yang ada dalam tubuh memiliki takaran yang berbeda, alasan lainnya adalah ummnya laki-laki, sejak kecil lebih menonjol kemampuan fisiknya dibanding perempuan meskipun tanpa melalui latihan. Jadi disini karunia yang berbeda antara laki-laki dan perempuan lebih berupa hal-hal yang berkaitan dengan masalah kekuatan fisik dan stabilitas psikologis. Berdasarkan pertimbangan ini maka sudah sepatutnya laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan dalam hal yang berkaitan dengan pencarian nafkah (potensi fisik )  dan menjaga keutuhan rumah tangga (potensi psikologis). Adapun potensi yang dimiliki perempuan lebih banyak dalam ranah psikologis semisal memiliki ketlatenan dan kasih sayang tehadap anak yang melebihi laki-laki.

6.      Penggalian Hukum
Pada pengujung ayat al-Quran (QS al-Baqarah :228) disebutkan bahwa “... kaum suami memiliki satu tingkat (kelebihan) diatas istri-istri mereka.)[4]
Tingkat “kelebihan” yang dimaksud bukanlah tingkat kekuasaan, melainkan tingkat kepemimpinan dalam rumah tangga, sejalan dengan tanggung jawab suami yang lebih besar, sebagai pengupaya nafkah dan pemelihara kesejahteraan bagi istri dan anak-anaknya serta keperluan-keperluan lain rumahnya. Tanggung jawab suami dalam hal ini berdasarkan ayat al-Quran yang lain, “ para suami adalah penanggung jawab dan pelaksana kepemimpinan dan pengayoman (dalam istilah al-Quran: Qawwamun) atas istri-istri mereka berdasarkan beberapa sifat kelebihan tertentu yang Allah berikan kepada sebagian mereka diatas sebagiannya yang lain (yakni diantara para suami dan istri) dan (juga) berdasarkan nafkah yang diberikan para suami dari harta mereka....” (QS al-Nisa’ : 34)[5]
Firman Allah tersebut menggunakan kata qawwamun, dari asal kata qawamah dalam bahasa Arab, berarti “bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keamanan rumah tangga, memperhatikan segala keperluan anggota keluarga, termasuk pemenuhan hak, kepentingan dan keamanan para istri dan anak-anak.firman Allah diatas tidak menggunakan susunan kalimat : “disebabkan beberapa keutamaan yang diberikan Allah kepada para suami diatas para istri”, melainkan”.... disebabkan beberapa keutamaan yang diberikan Allah kepada sebagian mereka di atas sebagiannya yang lain”. Tentunya ini merupakan petunjuk yang cukup jelas bahwa sifat keutamaan yang dimaksud disini bukan hanya milik laki-laki semata-mata, melainkan milik perempuan juga, meskipun masing-masing keutamaan memiliki fungsi dan tugas berlainan, yang lebih tepat disebut kmomplementer (saling mengisi dan saling melengkapi). Tak ubahnya seperti adanya berbagai keutamaan bagi beberapa bagian tubuh yang satu diatas bagian yang lain.  Sehingga tidak ada keberatan sama sekali bilamana tangan kanan dinilai lebih utama daripada tangan kiri, atau bilamana akal dinilai lebih utama daripada penglihatan, sepanjang penciptaan makhluk Allah memang memerlukan yang demikian itu., dan yang satu tidak akan mencapai kesempurnaan penuh kecuali dengan adanya keutamaan dari yang lain yang melengkapinya.
Maka dapatlah disimpulkan bahwa penetapan ”tingkat kelebihan” berupa kepemimpinan para suami atas para istri dan anak-anak mereka dalam keluarga merupakan sesuatu yang wajar dan alami, tak terelakkan dalam setiap tatanan masyarakat, yang besar maupun yang kecil.[6] Seperti halnya yang telah disampaikan oleh Prof. Asep Uid, dalam materi kuliah “visi sosial dalam al- Qur’an”, bahwa ada lima tugas pokok dari seorang kepala keluarga, yaitu: pertama, sebagai pencari nafkah: kedua, sebagai pendidik: ketiga, sebagai pelindung: keempat, sebagai teladan: kelima, sebagai perwakilan dalam tatanan sosial.
Kemudian ditetapkannya kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan dalam surat An-nisa ayat 34, hanya dimaksudkan semata-mata dalam rangka kepemimpinan dalam keluarga, antara suami, istri dan anak-anak mereka, bukan untuk hal-hal lebih luas lagi, sehingga mencakup kepemimpinan di bidang ekonomi perusahaan atau politik kenegaraan, misalnya, seperti yang sering kita jumpai dalam tulisan-tulisan sebagian orang yang secara mutlak tidak dapat membenarkan perempuan menjadi pemimpin atas kaum laki-laki. [7]

7.      Hikmah
Ayat ini memberikan tuntunan kepada suami bagaimana seharusnya bersikap dan berlaku terhadap istri yang membangkang. Jangan sampai pembangkangan mereka berlanjut dan jangan sampai juga sikap suami berlebihan sehingga mengakibatkan runtuhnya  kehidupan rumah tangga.
Petunjuk Allah itu adalah: wanita-wanita yang kamu khawatirkan, yakni sebelum terjadi nusyuz mereka, yaitu pembangkangan terhadap hak-hak yang dianugerahkan Allah kepada kamu, wahai para suami, maka nasihatilah mereka pada saat yang tepat dan dengan kata-kata yang menyentuh, tidak menimbulkan kejengkelan, dan bila naasihat belum mengakhiri pembangkangannya maka tinggalkanlah mereka bukan dengan keluar dari rumah, tetapi di tempat pembaringan kamu berdua dengan memalingkan wajah dan membelakangi mereka. kalau perlu tidak mengajak berbicara paling lama tiga hari berturut-turut untuk menunjukkan rasa kesal dan ketidakbutuhanmu kepada mereka- jika sikap mereka berlanjut- dan kalau inipun belum mempan, maka demi memelihara kelanjutan rumah tanggamu maka pukullah mereka, tetapi pukulan yang tidak menyakitkan agar tidak mencederainya namun menunjukkan sikap tegas. Lalu, jika mereka telah menaati kamu, baik sejak awal nasihat, atau setelah meninggalkannya di tempat tidur, atau saat memukulnya, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka, dengan menyebut dan mengecam lagi pembangkangannya yang lalu. Tetapi, tutuplah lembaran lama ini dan bukalah lembaran baru dengan bermusyawarah dalam segala persoalan rumah tangga, bahkan kehidupan bersama. Sesungguhnya Allah sejak dulu hingga kini Maha tinggi lagi Maha besar. Karena itu, merendahlah kepada Allah dengan menaati perintah-Nya dan jangan merasa angkuh apalagi membangkan bila perintah itu datang dari Allah swt.[8]
Hikmah yang dapat diambil dari ayat ini ialah bahwa, seorang lelaki yang sebagai kepala keluarga yang memiliki kewajiban untuk mengatur segala persoalan dalam rumah tangga, ia juga harus mampu menjadi seorang pemimpin yang baik dengan mengedepankan rasa kasih sayang, dan juga ketegasan.
Hal ini dapat dilihat dari penafsiran Prof. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al- Misbah, bahwasanya ada tahap dan tata cara yang harus dilakukan secara berkala dalam menghadapi “wanita-wanita yang kamu khawatirkan, yakni sebelum terjadi nusyuz mereka, yaitu pembangkangan terhadap hak-hak yang dianugerahkan Allah kepada kamu(para suami)”.
Tatacara yang diajarkan oleh Allah swt sangatlah lembut dan juga mengedepakan perasaan seorang wanita tersebut, meskipun wanita tersebut dalam posisi “yang dikhawatirkan”. Hal ini terlihat dari bahasa saat menasihati saja, seorang suami harus memilih waktu yang tepat dan mengatakan nasihatnya tersebut dengan kata yang lembut dengan sayarat tidak boleh membuat kesal, bukan dengan tidak boleh membuat sakit hati sang istri. Ini mengisyaratkan bahwasanya seorang suami yang diberi kelebihan berupa “kepemimpinan” ini haruslah mempunyai sikap lembut.
Kemudian dari tahap-tahap diatas, juga disebutkan bahwasanya jika sang istri telah kembali taat kepada suami, maka sang suami tidak diperbolehkan untuk mencari-cari kesalahan sang istri, seperti mengungkit kembali kesalahannya tersebut. Hal ini mengisyaratkan bahwa seorang suami bukan saja harus lembut, tetapi juga harus tegas sikap dan pendiriannya, agar tidak mengangkat kembali permasalahan lama karena akan dapat menghancurkan kehidupan berumah tangga mereka.



[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan, dan keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol. 2) hal. 511
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan, dan keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol. 2) hal.511
[3] Abu Hasan Ali an-Naisaburi, Asbabu an-Nuzuli al-Qur’an, (Tt: Dar Ishlah, 1992), hlm. 151-152
[4] M. Bagir al-Habsyi, Fiqih praktis : menurut al-Quran, as-Sunnah, dan pendapat para ulama, (Bandung, Mizan, 2002) h. 160
[5] M. Bagir al-Habsyi, Fiqih praktis : menurut al-Quran, as-Sunnah, dan pendapat para ulama, (Bandung, Mizan, 2002) h. 160
[6] M. Bagir al-Habsyi, Fiqih praktis : menurut al-Quran, as-Sunnah, dan pendapat para ulama, (Bandung, Mizan, 2002) h. 160-161
[7]  M. Bagir al-Habsyi, Fiqih praktis : menurut al-Quran, as-Sunnah, dan pendapat para ulama, (Bandung, Mizan, 2002) h. 164
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan, dan keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol. 2) hal.511





Thoriqul Aziz, Ibnu Rohim,  saiful Murod, Sidiq Darmanto, Rangga Praditya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar